Sampai detik ini, aku telah mengikuti beberapa les di bidang nonakademik. Hitung-hitung, menghabiskan waktu senggang sambil menambah keterampilan. Seperti beberapa tahun yang lalu, aku mengikuti les gitar, pilihan mainstream banyak remaja. Pilihan telah ditentukan, sekarang saatnya mencari guru les gitar yang tepat.
Setelah browsing di internet dan melakukan seleksi ketat, akhirnya pilihan jatuh pada Ano (nama disamarkan demi keselamatan), seorang guru les gitar (iyalah) berumur dua puluhan, dengan Facebook yang dipenuhi foto candid-nya saat sedang mengajar.
Alasan pemilihannya standar, yakni karena guru ini lulusan perguruan tinggi seni terkemuka di Indonesia, atau dengan kata lain guru ini pasti berkompeten. Selain itu, guru ini banyak mengiklankan jasanya pada tiang listrik dan pagar besi di pinggir jalan, yang biasanya dihuni iklan badut ulang tahun. Atau artinya, guru ini niat berusaha lebih, dan lebih penting, tempat tinggalnya nggak jauh dari rumah, meminimalkan terjadinya kasus keterlambatan.
Setelah berbicara via telepon, ditentukan jadwal pengajaran setiap hari Jumat sore. Dari pertemuan pertama saja, sudah terlihat bahwa keterampilan permainan gitarnya baik di level pemain gitar maupun tingkat guru les gitar.
Tapi ternyata, baru beberapa kali pertemuan, kesalahan mendasar yang banyak dilakukan guru les lain ternyata juga ia lakukan. Terlambat. Jangan-jangan hal ini telah tertulis dalam buku panduan mengajar les. Atau mungkin datang terlambat termasuk hukum wajib para pengajar les, sesuai kesepakatan Konferensi Guru dan Pengajar Les Seluruh Indonesia, yang disingkat jadi KOG-PEGAL-SI.
Bedanya, kalau guru lainnya cuma terlambat sepuluh sampai lima belas menit, guru ini selalu memecahkan rekor waktu terlambat miliknya sendiri. Karena setiap pertemuan, ia selalu datang lebih lambat dari sebelumnya.
Bahkan pernah suatu kali, ia datang tiga puluh menit sebelum pertemuan berakhir. Dan waktu sisa itupun kebanyakan dihabiskan dengan bercerita alasannya terlambat, sambil memainkan gitarnya dan sesekali menyeruput kopi yang sudah dingin.
Keunikan lain, di suatu pertemuan, guru ini meminta untuk membuka laptop di atas meja. Awalnya untuk mencari lagu dan kunci gitarnya. Pertemuan berikutnya, laptop digunakan untuk membuka YouTube. Supaya lebih jelas, tambahnya.
Dua video kemudian, ia mempraktikannya di gitar, dan aku menirukannya. Saat aku sedang menikmati permainan gitarku sendiri -yang fals-, ia menanyakan pertanyaan yang lagi-lagi tidak terduga.
‘Cara mengunggah video ke YouTube, bagaimana sih?’
Ada tiga kemungkinan jawaban yang terpikirkan saat itu.
Pertama, mau aku jawab ‘Nggak tahu”. Jadinya bohong.
Kedua, mau aku jawab ‘Sabtu aja, ya. Sekarang lanjut dulu’, tapi takutnya setiap Sabtu dia benaran datang untuk belajar.
Atau mau aku jawab ‘Cari di Google aja, pasti ada’, tapi takutnya dia tanya lagi ‘Caranya buka Google?’
Akhirnya, daripada disiram kopi, aku menurut saja. Setelah mengajarkan cara dasarnya, pertemuan hari itu pun berakhir.
Pertemuan selanjutnya, ia meminta lagi untuk membuka laptop, tapi juga dengan kamera. Lalu ia memulai merekam permainan gitarnya. Dengan cara yang telah aku ajarkan, ia mengunggah ke YouTube video yang baru saja direkam. Kemudian tanpa disangka video itu mendapatkan ribuan penonton, dan sekarang dia sudah jadi artis papan atas.
Oke, satu paragraf barusan itu bohong. Serius.
Untuk berjaga-jaga sebelum hal itu terjadi, aku memutuskan untuk memberhentikan guru ini, yang ternyata juga menandai berakhirnya pembelajaran gitar sampai hari ini.
Selain beberapa hal di atas, ada juga beberapa keunikan guru les ini yang tidak terlalu aku permasalahkan. Seperti menambahkan iklan semacam ‘Guru les gitar privat-semiprivat-grup-sekolah. Hubungi nomor berikut.’ setelah setiap SMS, padahal sudah les dengannya selama tiga bulan. Dan sebenarnya masih banyak lagi.
Akhir kata, ingatlah satu hal ini ketika memilih guru les, yaitu jangan memilih guru les dari niatnya saja, atau dari iklannya, apalagi dari profil Facebook-nya. Semoga berhasil~