0

Insiden Nonton Midnight Pertama

Beberapa bulan yang lalu, atau bahkan lebih dari satu tahun yang lalu, aku mengalami sebuah momen bersejarah, yaitu nonton midnight untuk pertama kalinya. Kenapa nggak dari dulu-dulu? Ah, itu cerita untuk lain waktu.

Biar nggak kelihatan menyedihkan, aku nggak nonton sendirian, tapi berempat bareng keluarga. Jam tayang film-nya juga sebenarnya nggak malam-malam amat, mungkin sekitar pukul setengah sebelas malam.

Waktu itu kami akan menonton sebuah film yang sebenarnya sudah ingin kami saksikan sejak hari rilisnya. Tapi, karena aku belum pernah merasakan sensasi nonton midnight, maka aku memaksa kami sekeluarga memutuskan untuk nonton midnight malam itu.

Tepat pukul sembilan malam, kami sudah sampai di sebuah mal dan memarkir mobil kami di lantai lima sesuai saran petugas parkir. Aku sempat bertanya-tanya, apakah parkir di situ lebih aman? Apakah posisinya lebih dekat dengan bioskop? Atau biaya parkirnya lebih murah? Tak lama, semua pertanyaan di atas terjawab, dan ternyata semuanya benar, kecuali pertanyaan terakhir sayangnya.

Setelah membeli tiket, kami berjalan menuju food court untuk makan malam sambil menunggu jam tayang film. Selesai mengisi perut, kami tetap harus menghabiskan puluhan menit di food court, daripada lontang-lantung nggak jelas dalam gedung bioskop. Percayalah, nganggur itu hal yang paling membosankan di dunia ini, apalagi nganggur sambil mendengarkan pengumuman ‘penonton yang telah memiliki karcis dipersilakan masuk ruang teater’ yang muncul dalam ritme tertentu itu. 

Setelah penantian lama, kami akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruang teater. Tak lupa, kami membeli dua bucket popcorn dan satu gelas lemon tea khas bioskop yang terkenal overpriced itu. Selesai mempersiapkan semuanya, kami masuk ruang teater dengan tenang.

Lampu dalam ruang teater telah gelap, namun ruang teater masih terisi sedikit orang saja, yang apabila dihitung tidak akan lebih dari satu lusin – atau dua belas orang. Film sudah dimulai ketika penonton-penonton ngaret mulai berdatangan dengan ditemani sinar senter petugas yang silaunya nggak santai itu.

Hawa juga terasa sangat dingin malam itu, entah karena hanya sedikit orang dalam ruang teater, atau karena petugas bioskop lupa mengganti baterai remote AC sehingga mereka nggak bisa mengontrol suhu dalam teater.

Film baru berjalan kurang-lebih satu jam, aku sudah mulai merasakan ada hal yang mengganggu, dan segera mengambil kesimpulan bahwa aku ingin muntah. Itu sama atau bahkan satu level lebih ngeselin dari ketika kita tiba-tiba ingin ke toilet di tengah nyamannya tidur pada tengah malam.

Aku refleks mencoba untuk minum perlahan dan berharap rasa mual itu reda. Lima menit berlalu, rasa mual itu tidak kunjung hilang dan membuatku berniat untuk berlari ke toilet.

Namun setelah dipikir-pikir, jarak ke toilet cukup jauh. Jika aku berusaha untuk lari secepat Usain Bolt pun, pasti akan muntah di tengah jalan. Oleh karena itu, aku mencoba mencari jalan lain. Aku melihat ke sekeliling untuk mencari benda yang bersedia dimuntahin.

Ide cemerlang muncul setelah aku melihat kedua bucket yang masih berisi popcorn. Segera aku meminta tolong untuk mengumpulkan popcorn yang masih tersisa pada satu bucket saja. Akan tetapi, karena harus menahan dengan sekuat tenaga agar tidak muntah, permintaanku menjadi sulit didengar. Sebelas-dua belas dengan orang yang habis lari memutari stadion GBK 30 kali, lah mungkin. Kira-kira seperti ini:

‘Tolong pindahin.. harghh.. popcorn-nya.. harghh.. bucket yang ini.. harghh.. mau muntah..’

‘Hah?’

‘Tolong pindahin popcornnya… harggh… di bucket yang ini… harggh… CEPET!’

‘Oh… Hah?’

Belum sempat dipindahkan, aku sudah muntah duluan di bucket popcorn yang lain.

Setelah sukses membuat suasana panik, kali ini aku langsung lari ke toilet untuk bersih-bersih. Tentunya maksudku dengan ‘bersih-bersih’ bukanlah membersihkan toilet dengan mengelap kaca atau mengepel lantai, tapi membersihkan mulutku. Tentunya juga maksudku ‘membersihkan mulut’ itu bukan membersihkan mulut dari kata-kata kotor. Ah, apasih.

Setelah insiden tak terduga itu, aku malah ingin segera pulang bagaimanapun caranya. Aku mulai mengharapkan bahwa film yang sedang diputar sebenarnya adalah versi khusus midnight dengan plot twist tertentu, misalnya tokoh utamanya tiba-tiba diare. Kebayang bagaimana jadinya kalau superhero yang dicap sebagai makhluk super itu gagal menyelamatkan dunia cuma gara-gara harus bolak-balik toilet.

Atau aku juga mengharapkan proyektor bioskop mengalami overheating sehingga film tidak bisa dilanjutkan. Pikiran yang tak wajar memang, tapi semua opsi itu terdengar menarik dalam kondisi terdesak itu. 

Setengah jam -yang terasa seperti satu abad- kemudian, film-nya akhirnya kelar. Keluar dari bioskop, seluruh sudut mal sudah remang-remang karena jam juga sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Untungnya, kendaraan kami terparkir dekat bioskop dan bisa segera pulang. Untuk petugas parkir, you da real MVP!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *