Semenjak awal bulan Desember 2017, lebih tepatnya sejak Ujian Akhir Semester 1 Kelas 10 berakhir, aku memfokuskan diri belajar untuk mengikuti seleksi Olimpiade Sains Nasional Tingkat Kota, atau yang sering disingkat dengan OSK.
Meskipun rangkaian olimpiade berpuncak pada OSN, OSK juga tak kalah bergengsi. Puji Tuhan, tahun ini aku terpilih mewakili sekolah untuk mengikuti OSK bidang Astronomi. Mengapa astronomi? Itu cerita untuk lain waktu.
Sebelumnya, aku akan cerita terlebih dahulu awal mula perjalananku dalam seleksi olimpiade sains. Sebelumnya saat SMP, aku telah mencoba mengikuti seleksi olimpiade sains tingkat sekolah dua kali, dan sedihnya dua kali itu pula gagal. :’)) Tapi harus diakui kalau kegagalanku dalam dua kesempatan itu karena hal konyol yang aku perbuat.
Jadi, semoga kesalahanku ini bisa pelajaran untuk para pembaca yang juga sedang berjuang dalam olimpiade sains tingkat apapun. Tingkat sekolah, kota, provinsi, nasional, internasional bahkan sampai tingkat antargalaksi kalau ada :).
Percobaan pertama, saat duduk di bangku kelas 7 SMP. Sekitar satu minggu setelah MOS (Masa Orientasi Siswa) selesai, salah seorang guru fisika memanggilku keluar kelas dan menawarkanku untuk ikut seleksi olimpiade sains nasional tingkat sekolah. Nantinya yang lolos tingkat sekolah akan diberikan pelatihan setiap minggu untuk mempersiapkan mengikuti seleksi tingkat kota, provinsi, kemudian nasional.
Karena terdengar menarik, aku iya-in aja. Guru itu memberikan pilihan untuk ikut bidang matematika atau IPA. Karena aku lebih suka belajar matematika ketimbang IPA sewaktu persiapan Ujian Nasional SD, dan pernah menang lomba matematika sewaktu SD, maka aku memilih untuk ikut bidang matematika.
Maklum, waktu itu masih belum pernah menyentuh materi dan soal matematika olimpiade tingkat SMP. Jadi, masih sok-sokan berpikir bisa lolos. Padahal kalau diingat lagi, kala itu aljabar dasar saja aku masih belum paham. Dikasih soal operasi dan faktorisasi dua variabel aljabar aja udah panas otaknya nggak tahu bagaimana mengerjakannya.
Konyolnya lagi, mungkin karena masih ada perasaan sok bisa, aku nggak nanya kapan seleksi tingkat sekolahnya. Hari-hari terlewati seperti biasanya, semakin hari semakin lupa akan diadakan seleksi, sehingga aku nggak banyak belajar dan persiapan karena mengira masih lama. Perhitunganku mempertimbangkan pelaksanaan seleksi olimpiade sains tingkat kota yang baru akan dilaksanakan pada semester dua, jadi mungkin seleksi dilakukan pada akhir semester pertama.
Ternyata, tak ada angin tak ada hujan, tiba-tiba di suatu pagi yang cerah, tepat satu minggu setelah pendaftaran, ada pengumuman dari sentral pada jam pelajaran pertama. Isinya memanggil seluruh peserta seleksi tingkat sekolah ke perpustakaan untuk segera melaksanakan tes. Udah, buyarlah harapan. Apalagi pas buka lembar soal yang hanya satu halaman, banyak tintanya, eh, maksudnya banyak angkanya.
Sebenarnya soalnya tidak begitu rumit, ada beberapa pertanyaan logika dan hanya segelintir pertanyaan hitungan. Banyak dari pertanyaan logika dan hitungan itupun pernah aku lihat penyelesaiannya di beberapa kanal matematika di YouTube. Kalau penasaran, judulnya ‘Hardest Maths Puzzle’ dan tema sejenisnya, yang walaupun terlihat matematika dasar, tetapi dimodifikasi sehingga terlihat membingungkan. Tapi sayangnya, aku lupa dan nggak ingat sama sekali cara kerjanya. Okesip, semakin dekat pada kegagalan.
Merasa rugi apabila banyak yang kosong, akhirnya aku mencoba menjawabnya dengan sedikit bekal pelajaran yang diberikan saat ikut lomba matematika sewaktu SD. Dan tentu sebagian besar berusaha dijawab dengan ilmu sok tahu. Lembar jawab itupun terkumpul tanpa sedikitpun harapan lolos. Benar saja, sampai saat ini, tidak ada panggilan untuk mengikuti pelatihan, yang berarti aku tidak lolos.
Belum menyerah dalam percobaan pertama, tepat satu tahun kemudian, aku mencoba lagi. Murid kelas delapan masih diberikan kesempatan untuk mengikuti seleksi yang sama. Tidak mau mengikuti bidang yang sama dengan tahun lalu karena sudah melihat tingkat kesulitannya, aku mendaftarkan diri untuk mengikuti seleksi bidang IPA. Setelah diberitahu salah seorang teman kalau IPA lebih mudah daripada matematika, aku semakin semangat dan percaya akan lolos.
Nunggu hal konyolnya? Ternyata aku mendaftarkan diri tepat dua hari sebelum diadakannya tes. Akhirnya, dua malam sebelum tes itu aku hanya tidur kurang dari empat jam untuk memaksimalkan materi yang dipelajari. Saat itu aku hanya mampu belajar soal seleksi olimpiade tingkat kota tahun-tahun sebelumnya, atau istilah kerennya: past papers. Dari soal tahun sebelumnya hingga lima tahun sebelumnya sudah aku coba kerjakan sambil melihat pembahasannya. Lumayan seru juga ternyata.
Tapi namanya BBB, buru-buru banget. Nggak usah ditanya, kemungkinan lolosnya sekecil kuku semut. Meskipun dua malam sebelumnya sudah belajar “mati-matian” sampai begadang, aku sadar nggak mungkin bisa lolos karena persiapannya jauh sekali dari kata ‘matang’.
Proses tesnya sendiri sama seperti seleksi bidang matematika tahun sebelumnya. Seluruh peserta seleksi dipanggil ke perpustakaan melalui pengumuman sentral. Kali ini juga ditambah rasa gugup karena sudah mulai mengenal lawannya, berbeda dengan tahun sebelumnya yang nggak kenal lawannya sama sekali. Tiga dari hampir lima belas “kompetitor” itu pun sudah pernah lolos seleksi ini tahun sebelumnya, sehingga dipastikan mengunci tiga kursi dari lima kursi yang lolos. Berarti, peluang lolos semakin menyusut karena hanya memperebutkan dua kursi.
Setelah melihat soal tesnya, ternyata yang diujikan ialah materi fisika dan biologi kelas 8 dan 9 SMP, dan aku nggak belajar sebagian besar dari materi itu. Jadinya aku hanya bisa mengerjakan dengan imajinasi. Tapi sepertinya imajinasi itu tidak sesuai dengan logika dan kenyataan, sehingga banyak yang salah dan aku tidak berhasil lolos.
Aku ingat betul ketika aku sedang mengerjakan dan waktu hampir habis, ada pengawas (baca: guru) yang keliling untuk melihat pekerjaan masing-masing peserta. Terkagum setelah melihat lembar jawabanku, pengawas itu pun bertanya,’Loh, kok singkat banget jawabannya? Kan gampang?’, kemudian berdecak. Saat itu aku hanya tersenyum sambil bilang,’Ya, gitu, deh.’, meskipun dalam hati, aku ingin bilang,’Iya, gampang kalau sambil lihat kunci jawaban.’ Lembar jawabanku memang layak untuk dikagumi, karena jawabannya sangat singkat, padat, dan nggak jelas.
Peserta yang lain banyak yang meminta kertas tambahan karena jawabannya terlalu panjang. Berbeda dari yang lain, aku justru ingin meminjam gunting untuk memotong lembar jawaban yang kosong, kemudian aku lipat menjadi pesawat kertas. Lumayan buat kenang-kenangan.
Setelah dua tahun berturut-turut gagal dengan konyol, aku bertekad untuk lolos saat SMA, minimal hingga tingkat kota. Alasannya terutama karena di SMA lebih banyak bidang yang diujikan, sehingga memperbesar kesempatan untuk lolos. Hal-hal yang membuatku gagal di tingkat SMP harus diubah supaya tidak melakukan kesalahan yang sama lagi. Tapi entah kenapa, setiap kegagalan dalam perlombaan justru semakin membakar semangat untuk terus mencoba ikut lomba yang lainnya. Kalian gitu juga nggak, sih?
Oke, udah cukup kilas balik tentang seleksi olimpiade sains SMP, kita beranjak menuju cerita mengikuti seleksi olimpiade sains SMA. Akankah lebih baik? Apakah kembali gagal? Jangan kemana-mana, simak di post selanjutnya!
Spoiler: Di awal post ini udah ada jawabannya.