Mungkin kalian sadar kalau minggu lalu dan dua minggu yang lalu nggak ada postingan baru di blog ini. Tapi, nggak seperti sebelumnya yang nggak ada alasannya sama sekali, kekosongan kali ini memiliki alasan yang jelas. Jauh lebih jelas dari jawaban pertanyaan “Mengapa baju pada karakter kartun selalu sama?” Alasannya ialah sebuah kegiatan sekolah berinisial UTS. Ujian Tengah Semester.
Kegiatan yang menyita banyak waktu dan tenaga ini membuat gerakan ‘setiap minggu satu postingan baru’ di blog ini gagal dengan mudahnya.
Tapi setidaknya, sekarang UTS semester ini telah selesai (akhirnya). Dan karena feel UTS masih tersisa, maka kali ini aku akan membahas hal-hal unik seputar UTS semester ini.
UTS semester ini berjalan seperti biasanya sejak awal, masih seperti UTS yang aku kenal dan ingat dengan baik. Pekan UTS yang juga masih diwarnai dengan banyak tugas yang harus dikumpulkan dan materi pelajaran yang harus dipelajari, atau dihafal, atau ditinggal kalau kepepet.
Rupanya hanya satu hal yang secara teknis membedakan UTS kali ini dengan UTS sebelumnya, yakni tipe soal. Yang biasanya hanya 50 soal pilihan ganda, sekarang menjadi 35 soal pilihan ganda dan 5 soal uraian. Hal ini tentu menguras energi tambahan saat belajar.
Tapi, ada satu hal lagi yang lebih spesial dari pergantian tipe soal. Sesuatu yang yang beda dari yang lain dan baru pertama kali aku alami dalam karir per-ujian-an-ku. Susah banget ya kata-katanya :’)
Kejadian ini terjadi tepat seminggu yang lalu. Senin minggu lalu seharusnya merupakan jadwal UTS elektronika dan bahasa daerah. Keduanya merupakan pelajaran yang menurutku cukup mudah tapi tetap membutuhkan banyak waktu belajar.
Aku sendiri optimis bisa mengerjakan dan mendapat nilai yang memuaskan karena adanya waktu belajar yang cukup.
Setelah lembar jawab komputer (LJK) dibagikan, yang tak lama disusul oleh lembar soal elektronika, beberapa perubahan terjadi. Dari yang optimis menjadi pesimis, dari perkataan “Ah, pasti gampang!” menjadi “Soal macam apa ini?”
Sepertinya bukan hanya aku yang merasakan hal yang sama. Ketika aku melihat sekeliling kelas, semuanya melihat lembar soal dengan tatapan kosong dan melongo. Ada juga yang menggeleng-gelengkan kepala sambil membolak-balik lembar soal dengan kata makian khas Surabaya itu. Ada juga yang karena terlalu semangat akhirnya melakukan atraksi melompati pagar sekolah. Eh, itu namanya escape, ya?
Aku mencoba untuk mengerjakan soal satu per satu bermodalkan segala materi yang sudah dipelajari dan strategi sakti yang telah dilestarikan turun-temurun: cap-cip-cup.
Secercah harapan muncul ketika aku melihat soal-soal yang menanyakan simbol komponen elektronika. Berbekal hafalan, beberapa soal bisa aku kerjakan, benar-salah itu urusan belakangan. Ada juga beberapa soal tentang elektronika dasar. Dalam kondisi kepepet seperti itu, tiba-tiba otak kita berhasil menemukan teori baru yang apabila dipikir-pikir dengan logika, ternyata masuk akal. Bener kan?
Sepuluh menit berlalu, beberapa teman masih ada yang mencoba mengerjakan, sedangkan beberapa lainnya kebingungan. Di tengah keheningan kelas, seorang teman yang duduk dekatku mengacungkan tangan dan memecah keheningan ruangan itu dengan bertanya, “Bu, ini bukannya soal kelas tujuh*?”
*Saat postingan ini ditulis, penulis duduk di bangku kelas delapan.
Seisi kelas langsung saling ngobrol dan mengeluh. Kelas yang tadinya hening sekarang menjadi ramai. Yang tadinya bingung sekarang sudah mulai lega. Yang tadinya lompat pagar sekolah sekarang lompat lingkaran api. Lah.
Pengawas berusaha menenangkan kelas dan bertanya pada pengawas lain, sementara kami tetap diminta mengerjakan sebisanya. Daripada kerja keras tanpa hasil, aku mencoba merenung bagaimana soalnya bisa tertukar, padahal di halaman pertama saja sudah tertulis “Kelas: VIII”. Saat itu juga sempat terpikir bahwa seharusnya kami sekelas bisa mengerjakan soal kelas tujuh itu dengan mudah karena sudah melalui materi itu tahun lalu.
Beberapa saat kemudian, pengawas kembali, mengklarifikasi bahwa terjadi kesalahan distribusi soal, dan mengambil lembar soal kelas tujuh dari tangan kami. Kami kemudian diberi arahan untuk mengerjakan soal bahasa daerah dahulu melalui pengumuman sentral.
Enam puluh menit kemudian, setelah LJK bahasa daerah dikumpulkan, UTS elektronika dilaksanakan ulang. Semua berharap tidak ada masalah lagi kali ini. Lembar soal dibagikan dan semua serentak berkata “Nah, ini baru!” Fiuh!